Hadits Tentang Kebaikan Di Bulan Ramadhan
Penjelasan Mengenai Fidyah dan Kewajiban Mengganti Puasa yang Ditinggalkan
Fidyah dan mengqadha puasa merupakan konsekuensi yang harus dilakukan oleh seseorang yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa uzur (alasan syar'i yang dibenarkan). Berikut penjelasan mengenai keduanya:
Fidyah secara bahasa berarti tebusan. Dalam konteks puasa, fidyah adalah denda berupa makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan.
Besaran fidyah disetarakan dengan satu mud (sekitar 650 gram) makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah tempat tinggal orang yang wajib fidyah. Misalnya, bisa berupa beras, gandum, atau kurma.
Mengqadha puasa berarti mengganti puasa yang tertinggal di luar bulan Ramadhan. Ini adalah kewajiban bagi semua orang yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa uzur.
Tata Cara Mengqadha Puasa:
Konsultasikan dengan ulama terpercaya untuk mendapatkan penjelasan lebih rinci terkait kondisi khusus Anda. Lunasi hutang puasa Ramadhan sesegera mungkin. Menjaga niat dan ketulusan saat menjalankan puasa qadha.
Baca juga: 5 Cara Berbuka Puasa Dalam Perjalanan Mudik Lebaran
Dengan demikian, penting bagi para pemudik untuk memastikan kondisi kendaraan dalam keadaan prima sebelum memulai perjalanan mudik, terutama di bulan suci Ramadhan.
Melakukan perawatan kendaraan seperti servis oli, cek aki, dan kondisi ban dapat menjadi langkah preventif yang sangat penting untuk menghindari masalah di tengah perjalanan.
Untuk memastikan kelancaran perjalanan mudik Anda, Astra Otoshop siap membantu dengan menyediakan berbagai produk suku cadang kendaraan berkualitas. Anda dapat memperoleh oli, aki, atau ban sebagai cadangan spare parts yang dapat berguna dalam situasi darurat.
Jangan ragu untuk menghubungi kami melalui layanan konsultasi 24 jam di Astra Otoshop. Anda dapat menghubungi kami melalui telepon di 1500015 atau melalui WhatsApp di nomor +62895351500015. Persiapkan kendaraan Anda sekarang dan jalani perjalanan mudik dengan aman dan nyaman. Selamat berkendara!
Alasan yang Dibenarkan Secara Syar'i
Islam sebagai agama yang penuh rahmat dan kemudahan memahami berbagai kondisi yang dialami umatnya. Meskipun puasa Ramadhan merupakan kewajiban, namun terdapat alasan-alasan yang dibenarkan secara syar'i (sesuai hukum Islam) untuk tidak berpuasa.
Kondisi-kondisi tersebut disebut dengan uzur, yang membolehkan seseorang untuk membatalkan puasanya. Mari kita bahas beberapa alasan yang termasuk kategori uzur:
Selain alasan-alasan di atas, para ulama juga membahas kondisi-kondisi lain yang mungkin termasuk uzur. Namun keputusan tetap berpuasa atau tidak dalam kondisi tertentu sebaiknya dikonsultasikan dengan ulama atau pemuka agama yang terpercaya.
Langkah-langkah Mengganti dan Mengqadha Puasa yang Ditinggalkan
Untuk mengganti dan mengqadha puasa yang ditinggalkan, ada beberapa langkah yang perlu diikuti sesuai dengan ajaran Islam.
Batas waktu untuk mengganti puasa Ramadan yang ditinggalkan juga perlu diperhatikan. Setiap orang yang memiliki puasa yang belum dikerjakan dari bulan Ramadan sebelumnya harus segera menggantinya sebelum Ramadan berikutnya tiba.
Jika puasa Ramadan yang ditinggalkan tidak diganti sebelum Ramadan berikutnya, maka seseorang tetap wajib untuk menggantinya di lain waktu dan membayar fidyah.
Selain mengganti puasa yang ditinggalkan, ada juga opsi untuk membayar fidyah sebagai pengganti puasa bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa. Fidyah berupa pemberian makanan kepada orang yang berhak menerima atau sejumlah tertentu uang sebagai pengganti setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Baca juga: Ketentuan Puasa Ramadan Bagi yang Melakukan Perjalanan Mudik
NILAI-NILAI KEBAIKAN DAN SIKAP KEAGAMAAN DI BULAN RAMADHAN
Oleh: Affan, S.Pd.I., M.M.
Budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (https://kbbi.web.id/budaya). Dari arti budaya versi KBBI inilah yang menjadi formula penulis dalam menelaah fenomena kontinu yang setiap tahun terjadi di bulan Ramadhan yang mulia ini. Kewajiban puasa termaktub dalam surat Surat Al-Baqarah ayat 183 dan diwajibkan pada tahun kedua Tahun Hijriyah dan merupakan rukun Islam yang ketiga. Penulis ingin menyampaikan bahwa bulan Ramadhan mengandung nilai-nilai kebaikan (good values) dan sikap keagamaan (religion attitude). Sebagai tambahan pengetahuan, religion attitude itu merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan bentuk keimanannya.
Good values di bulan Ramadhan yang mulia lazimnya dimulai dari peribadatan, seperti shalat berjamaah lima waktu, sholat isya’ dan dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah, tadarrus berjamaah, melaksanakan takjil (berbuka puasa) bersama, dan bahkan mudik dan balik ke kampung halaman pun berjamaah, serta bentuk nilai-nilai baik dan positif keagamaan lainnya. Good values dan religion attitude tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima (baik oleh kalangan seagama [dalam hal ini umat Islam sendiri] ataupun oleh umat yang tidak seagama). Dus, sesuai dengan arti budaya dalam KKBI di atas), maka Nilai-nilai Islam di bulan Ramadhan akan membudaya dengan sendirinya.
Fenomena (tahun-an) ini menunjukkan bahwa semua nilai-nilai kebaikan (good values) dan sikap keagamaan (religion attitude) itu (disadari atau tidak) merupakan bentuk kudrat iradat dan ayât Allah SWT. dan Allah SWT. ini ‘ingin’ menunjukkan bahwa bulan Ramadhan merupakan banyak nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai positif ke-Islam-an yang seyogyanya dilakukan oleh umat Islam itu sendiri atau menjadi tambahan kebaikan bagi pemeluk agama lainnya. Dan bahkan kebaikan-kebaikan di Bulan Ramadan akan tetap senantiasa ada dan eksis sampai hari kiamat kelak.
Dari sisi perekonomian, bahwa pedagang kaki lima menjadi ramai ketika orang-orang yang berpuasa (atau bahkan yang tidak berpuasa) mencari sekedar takjil (makanan untuk berbuka), terutama fenomena ngabuburit yang hanya terjadi ketika bulan Ramadhan tiba. Pada pertengahan atau bahkan sejak awal Ramadhan, supermarket, minimarket, mall-mall, pusat-pusat perbelanjaan, banyak diminati masyarakat (terutama umat Islam) untuk hanya sekedar mencari dan mempersiapkan asesoris hari raya Idul fitri, baik untuk membeli baju baru, dan pakaian-pakaian baru, bahkan kendaraan baru (dan bahkan ide-ide baru). Geliat ekonomi ini tidak akan ada kecuali ketika bulan Ramadhan tiba sampai H-1 dari lebaran atau bahkan pasca lebaran.
Bahan bakar minyak seperti solar, pertamax, pertamax turbo, pertalite, dan BBM-BBM yang lain) akan mengalami intensitas pembelian ketika musim mudik yang hal ini hanya ada di bulan Ramadhan sampai dan bahkan pasca Hari Raya Idul Fitri. Krus keuangan dari luar negeri ke dalam negeri (dengan banyaknya warga Indonesia di luar negeri yang bekerja) pada awal Ramadhan atau bahkan 2 hari sebelum Hari raya Idzul Fitri akan mengalami peningkatan terutama sirkulasi pengiriman uang ke kerabat dan keluarga yang ada di Indonesia.
Dus, nilai plus dan esensi dari bulan Ramadhan adalah adanya kewajiban zakat fitrah (yang merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk mengeluarkannya) kepada fakir miskin dan kaum mustad’afin (kaum lemah ekonomi kesehariannya). Kewajiban membayar zakat fitrah (ketika ditinjau dari sisi keekonomian) merupakan bentuk kepedulian dan rasa sosial yang tinggi (sense of high social belonging: meminjam istilah Abi Nawal) yang seyogyanya juga merupakan salah satu bentuk good values yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. serta barokah bulan Ramadhan. Begitulah seterusnya.
Banyak pengamat muslim menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bentuk simbol-simbol keagamaan rutinitas setiap tahun. Bahkan bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan maghfirah (ampunan Allah SWT.), bulan penuh rahmah (kasih sayang Allah SWT.), dan bulan yang akan mendapatkan doorprize ‘itqun minan nâr (akan terbebas dari siksa api neraka). Tentunya dengan ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku versi syariat Islam.
Doorprize ini akan diperoleh apabila umat Islam (sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW.) melaksanakan nilai-nilai bulan Ramadhan dengan yakin bahwa puasa merupakan perintah Allah SWT. dan semua kebaikan yang dilakukan hanya mengharap ridha, kasih sayang serta rahmat Allah SWT. semata. Semoga kita semua termasuk dan bisa mengamalkan hadits Nabi Muhammad SAW tersebut. Wallahu a’lam bis sawab.
Editor: Achmad Firdausi / Humas
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
عن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : ليلة المعراج عندما وصلت إلى السماء رأيت ملكاً له ألف يد وفي كل يد ألف إصبع وكان يعد بأصابعه، فسألت جبرائيل عليه السلام عن اسمه وعن وظيفته وعمله، فقال إنه ملك موكل على عدد قطرات المطر النازلة إلى الأرض .. فسألت الملك : هل تعلم عدد قطرات المطر النازلة من السماء إلى الأرض منذ خلق الله الأرض ؟
فأجاب الملك : يا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) والله الذي بعثك بالحق نبياًَ إني لأعلم عدد قطرات المطر النازلة من السماء إلى الأرض عامة وكما أعلم الساقطة في البحار والقفار والمعمورة والمزروعة والأرض السـبخة والمقابر.
قال النبي (صلى الله عليه وسلم): فتعجبت من ذكائه وذاكرته في الحساب .. فقال الملك : يا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ولكني بما لدي من الأيدي والأصابع وما عندي من الذاكرة والذكاء فإني أعجز من عد أمر واحد . فقلت له: وما ذاك الأمر ؟
قال الملك : إذا اجتمع عدد من أفراد أمتك في محفل وذكروا اسمك فصلوا عليك . فحينذاك أعجز عن حفظ ما لهؤلاء من الأجر والثواب إزاء صلواتهم عليك ….
Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 (seribu) tangan, di setiap tangan ada 1000 (seribu) jari. Malaikat itu sedang menghitung dengan menggunakan jari-jemarinya. Aku bertanya kepada malaikat Jibril alaihissalam, ‘Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?.’
Jibril menjawab, ‘Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi.’
Maka aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bertanya kepada malaikat tadi, ‘Apakah kamu tahu berapa bilangan tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak Allah ciptakan bumi?.’
Malaikat itupun berkata, ‘Wahai Rasulallah, demi yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi. Dan aku juga mengetahui secara rinci berapa jumlah tetesan hujan yang jatuh di lautan, di daratan, di bangunan, di perkebunan, di daratan yang bergaram, dan di pekuburan.’
Mendengar uraian malaikat tadi, Rasuluallah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat takjub atas kecerdasan dan daya ingatnya dalam perhitungan. Kemudian malaikat tadi berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulallah, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian dan keulungan (untuk menghitung tetesan air hujan yang yang turun dari langit ke bumi), tapi aku tidak mampu menghitung satu perkara.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya, ‘Perkara apakah itu?.’
Malaikat itupun menjawab, ‘(Kekurangan dan kelemahanku, wahai Rasulullah), jika umatmu berkumpul di satu tempat, mereka menyebut namamu lalu bershalawat atasmu, pada saat itu aku tidak bisa menghitung berapa banyaknya pahala yang diberikan Allah kepada mereka atas shalawat yang mereka ucapkan atas dirimu.’”
Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’) dan BATIL karena Tidak Ada Asal-usulnya. Dan diantara tanda atau ciri kepalsuannya adalah sebagai berikut:
1) Hadits Palsu tersebut TIDAK ADA di dalam kitab-kitab hadits yang disusun para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, seperti kitab Shohih Al-Bukhari, Shohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Sunan Ad-Darimi, Sunan Ad-Daruquthni, Shohih Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Khuzaimah, Sunan Al-Baihaqi, dsb. Bahkan di dalam kitab hadits-hadits Dho’if dan Palsu karya para ulama Sunnah pun hadits tersebut tidak ditemukan, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian para ulama dan penuntut ilmu hadits.
2) Hadits Palsu ini disebutkan di dalam kitab-kitab hadits karya para tokoh (baca: pendeta) Syi’ah Rofidhoh dengan tanpa menyebutkan sanadnya. Dan juga disebutkan di dalam situs-situs Syi’ah di internet, diantaranya:
1. Kitab Mustadrok Al-Wasa-il karya An-Nuri Ath-Thobrosi Ar-Rofidhi V/355 hadits ke-72, cetakan ke-2, pustaka Alul Bait.
2. Manazilu Al-Akhiroti Wal Matholibu Al-Fakhirotu karya Abbas Al-Qummi Ar-rofidhi, cetakan Muassasah An-Nasyr Al-Islami.
3. http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/003/11.html
3) Ditinjau dari lafazhnya, maka susunan kalimat hadits palsu tersebut tidak baik dan tidak fasih. Sehingga sangat mustahil hadits ini datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau telah diberi Allah mukjizat jawami’ul kalim, yakni kemampuan berbicara dengan bahasa Arab yang paling fasih dengan kalimat yang singkat namun maknanya luas dan padat. Sementara di dalam hadits palsu ini terdapat kata Dzaakiroh (ذاكرة) yang artinya daya ingat, dan Dzakaa’ (ذكاء) yang artinya kecerdasan, yang mana kedua kata itu termasuk kata-kata modern yang sering diucapkan oleh orang-orang zaman sekarang. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang yang memalsukan hadits ini bukan orang yang hidup di zaman generasi salaf, tetapi ia hidup di zaman belakangan ini setelah berlalunya generasi as-salaf.
4) Di dalam hadits palsu ini disebutkan bahwa malaikat yang memiliki 1000 (seribu) tangan, dan pada setiap tangan terdapat 1000 (seribu) jari mampu menghitung jumlah tetesan air hujan, maka hadits ini menjadi BATIL karena bertentangan dengan firman Allah ta’ala: وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوهَا
Artinya: “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu untuk menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).
Dan air hujan merupakan salah satu nikmat dari sekian banyak nikmat Allah yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-nya. Maka bagaimana mungkin tetesan air hujan dapat dihitung jumlahnya malaikat atau makhluk lainnya?!
Demikian penjelasan tentang derajat hadits ini yang banyak tersebar di media internet atau melalui BBM, atau selainnya. Semoga Allah ta’ala melindungi kita semua dari bahaya mempercayai, mengamalkan dan menyebarluaskan hadits-hadits lemah dan palsu.
Alhamdulillah, dengan taufiq dan pertolongan-Nya, artikel ini telah selesai ditulis di Klaten, pada pagi hari Jumat, 17 januari 2014. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
* Artikel BB Group majlis Hadits Ikhwan dan Akhwat, chat romm Hadits Dho’if dan Palsu. PIN: 27FE9BE4
Hukum Tidak Puasa di Bulan Ramadhan Bagi Pemudik
Bulan Ramadhan merupakan momen istimewa bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa. Namun, bagi sebagian orang, momen ini diiringi dengan tradisi mudik, perjalanan panjang untuk kembali ke kampung halaman. Dilema pun muncul, bagaimana hukum tidak puasa bagi pemudik?
Artikel ini akan membahas tuntas mengenai hukum tidak puasa di bulan Ramadhan bagi pemudik, berdasarkan dalil agama dan fatwa ulama. Kami akan mengulas berbagai situasi yang memungkinkan pemudik untuk tidak berpuasa, serta konsekuensi dan kewajibannya.
Baca juga: Tips Mudik Sehat dan Aman: Perjalanan Selamat
Uzur Menyebabkan Pelarangan Berpuasa
Uzur, secara bahasa, berarti halangan atau alasan. Dalam konteks ibadah puasa, uzur merujuk pada kondisi yang dibenarkan secara syar'i (sesuai hukum Islam) untuk tidak berpuasa. Orang yang mengalami uzur dilarang untuk berpuasa dan wajib menggantinya di hari lain setelah kondisinya pulih.
Perlu diingat bahwa uzur merupakan suatu halangan yang bersifat sementara. Ketika kondisinya telah pulih, maka orang yang memiliki uzur wajib mengganti puasanya di hari lain.
Bagaimana Hukum Membatalkan Puasa Saat Dalam Perjalanan Mudik?
Mudik merupakan tradisi tahunan yang dilakukan umat Islam di Indonesia untuk berkumpul bersama keluarga di kampung halaman saat Hari Raya Idul Fitri.
Perjalanan mudik yang panjang dan melelahkan terkadang membuat beberapa orang memilih untuk membatalkan puasanya. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum membatalkan puasa saat dalam perjalanan mudik?
Apa Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Puasa?
Orang yang meninggalkan puasa Ramadan tanpa ada uzur atau alasan yang dibenarkan dalam syariat Islam menghadapi ancaman serius.
Rasulullah SAW mengancam dengan siksaan yang pedih di akhirat bagi orang-orang tersebut. Hal ini karena meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa uzur termasuk dalam dosa besar yang paling besar dalam pandangan agama Islam.
Mengapa Seseorang Boleh Membatalkan Puasa di Bulan Ramadhan?
Puasa Ramadhan adalah ibadah wajib yang tidak bisa ditawar, namun Islam sebagai agama yang penuh kemudahan memberikan keringanan bagi mereka yang mengalami kondisi tertentu.
Dalam situasi khusus, membatalkan puasa di bulan suci Ramadhan diperbolehkan. Mari kita bahas alasan-alasan yang termasuk kategori uzur atau kondisi yang dibenarkan syariat, sehingga seseorang boleh membatalkan puasanya.
Ketentuan Membatalkan Puasa Secara Sengaja untuk Pemudik
Memperbolehkan seseorang untuk membatalkan puasanya selama perjalanan mudik adalah salah satu bentuk kelonggaran dalam syariat Islam. Hal ini didasarkan pada hadis dan panduan agama yang menyatakan bahwa musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa selama Ramadan dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut meliputi jarak perjalanan yang ditempuh, kondisi kesehatan, dan adanya kesulitan atau bahaya selama perjalanan. Jika perjalanan mudik diperkirakan akan membahayakan kesehatan atau mengancam keselamatan pengendara, maka membatalkan puasa diperbolehkan.
Menurut penjelasan dari situs resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta, seorang Muslim yang meninggalkan puasa Ramadan karena melakukan perjalanan jauh, wajib menggantinya di lain hari (qadha). Ini berarti bahwa puasa yang ditinggalkan saat dalam perjalanan mudik harus diganti atau di-qadha pada waktu lain setelah Ramadan.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa membatalkan puasa saat mudik adalah sesuatu yang sembarangan dilakukan. Keputusan untuk membatalkan puasa harus diambil dengan penuh pertimbangan dan kesadaran akan tanggung jawab agama. Muslim diharapkan untuk tetap menjaga kesalehan dan mengganti puasa yang ditinggalkan di lain waktu.